Mempromosikan Work-Life Balance tidak hanya meningkatkan produktivitas tetapi juga memungkinkan pengelola SDM merekrut dan mempertahankan karyawan berbakat.
Sementara itu, implementasi work-life balance merupakan isu yang semakin penting di tempat kerja. Manakala, karyawan saat ini lebih tertarik untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional yang sehat.
Umumnya, mereka ingin menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga atau menangani pekerjaaan yang lebih strategis & inovatif untuk pengembangan karir.
Seperti yang diungkapkan studi State of the American Workplace oleh Gallup baru-baru ini, 70% pekerja di Amerika Serikat “tidak terlibat (not engaged)” atau “secara aktif tidak terlibat” dengan pekerjaan mereka. Gallup lebih lanjut memperkirakan bahwa pekerja yang secara aktif tidak terlibat (actively disengaged) menyumbang potensi kerugian ekonomi antara US$450 dan US$550 miliar per tahun karena hilangnya produktivitas. Lebih lanjut, karyawan seperti itu juga lebih cenderung memberikan pengaruh negatif pada rekan kerja.
Dengan nyata, berbagai literatur tentang work-life balance juga memberikan wawasan terkait masalah yang timbul jika tidak idealnya waktu kerja dengan kehidupan pribadi. Salah satu yang paling terkenal adalah buku berjudul Working in a 24/7 Economy: Challenges for American Families karya Harriet B. Presser seorang sosiolog, sekaligus profesor di universitas terkemuka di Amerika Serikat.
Sejalan dengan ini, Senior VP – Head of People Analytics and HR Operations di perusahaan telekomunikasi mengungkapkan jika dirinya sedih melihat tim payroll pada departemen SDM yang dipimpinnya terlalu sibuk dalam tumpukan tugas rutin berulang yang dikejar deadline sehingga karyawan tidak sempat berinteraksi secara sosial, atau berinovasi untuk pertumbuhan profesional dan peningkatan karier. Karena itu, Dia memilih solusi RPA Payroll Automation untuk mewujudkan misinya yaitu “membebaskan belenggu yang mengunci karir karyawan”. Tulisnya di Linkedin.
Berikut adalah 3 alasan mengapa kebijakan work life balance yang efektif sangat berharga bagi manajemen sumber daya manusia:
Daftar isi
Toggle1. Menarik Talenta Terbaik
Dalam hal kebijakan terkait menyelaraskan kehidupan kerja dan pribadi, manfaatnya tidak hanya berhenti pada karyawan. Dalam jangka panjang, meningkatkan retensi karyawan dengan mempromosikan work-life balance dibantu teknologi Automation akan membuat perusahaan lebih menarik bagi calon karyawan baru.
Sejalan dengan itu, dalam artikel berjudul The Surprising Benefits of Work/Life Support yang ditulis oleh dua orang profesor di bidang Social Sciences. Menemukan fakta, perusahaan di Amerika Serikat yang memiliki kebijakan universal terkait work-life balance seperti waktu cuti keluarga atau membantu pengasuhan anak berhasil menarik talenta pada level manager dari beragam latar belakang (diversity management).
2. Membantu Mempertahankan Talenta Terbaik
Mempertahankan talenta terbaik penting bagi semua jenis bisnis, terutama bisnis yang ingin berkembang. Pengelola SDM perlu membantu karyawan merasa bahagia dan puas sehingga mereka dapat mendukung organisasi dan membantu pertumbuhan perusahaan.
Work Life Balance merupakan salah satu aspek kunci dari kepuasan kerja, sehingga mendorong kehidupan kerja dan pribadi yang ideal bagi karyawan akan membantu mengurangi angka turnover rate karyawan.
Begitu juga, sebuah studi yang melibatkan lebih 800 perusahaan di Amerika Serikat mengungkap manfaat lain work-life balance bagi manajemen tenaga kerja yaitu menciptakan keragaman karyawan atau dikenal dengan istilah Diversity. Seperti dikutip dari Harvard Business Review.
3. Menciptakan Karyawan Yang Lebih Bahagia
Dengan kebijakan work-life balance yang lebih baik dan sehat bagi karyawan, tingkat stres mereka cenderung lebih rendah. Untuk satu hal, membantu karyawan mengelola hari mereka dengan lebih baik.
Karyawan yang merasa lebih bahagia dan diperhatikan oleh pemberi kerja (perusahaan), lebih mungkin untuk tinggal lebih lama di perusahaan dan berkinerja lebih baik. Pada saat, karyawan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih bernilai tinggi dari diri mereka sendiri, karyawan akan lebih termotivasi dan terlibat dalam pekerjaan mereka.
Sejalan dengan itu, sebuah studi yang dilakukan di University of Warwick dan diposting pada Journal of Labor Economics, menggunakan tiga metode eksperimen berbeda dilakukan kepada para responden yang dipilih secara acak, yang dibuat lebih bahagia dengan berbagai intervensi, menunjukkan tingkat produktivitas sekitar 12% lebih tinggi.
Penelitian juga menemukan bahwa tingkat kebahagiaan yang lebih rendah mengurangi produktivitas, mengarahkan para peneliti untuk menyimpulkan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kebahagiaan dan kinerja.